Sumber: blog
Dari Abdullah bin Amr RA bahwa Nabi SAW bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (Hadis Riwayat Bukhari)
PERAWI HADITH/HADIS
Hadits ini diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’ad bin Sahm As Sahmiy.
Nama kunyah beliau (sebuah nama panggilan yang biasa digunakan oleh masyarakat Arab untuk panggilan kehormatan atau gelar kepada seseorang, sebagai pengganti atas nama asli orang tersebut)
Ialah Abu Muhammad, atau Abu Abdirrahman menurut pendapat lain. Beliau adalah salah satu diantara Al ‘Abaadilah (para shahabat yang bernama Abdullah, seperti ‘Abdullah Ibn Umar, ‘Abdullah ibn Abbas, dan sebagainya) yang pertama kali memeluk Islam, dan seorang di antara fuqaha’ dari kalangan shahabat.
Beliau meninggal pada bulan Dzulhijjah pada peperangan Al Harrah, atau menurut pendapat yang lebih kuat, beliau meninggal di Tha’if.
POINT KANDUNGAN HADITH
Pertama:
Nabi SAW memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari beliau, kerana Allah SWT telah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang ertinya), “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku redhai Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah : 3).
Tentang sabda beliau, “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”, Al Ma’afi An Nahrawani mengatakan, “Hal ini agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi SAW bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar nukilan dari Nabi SAW dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.”
Hal ini sebagaimana sabda beliau SAW, “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir”. Bentuk perintah dalam hadits ini menunjukkan hukum fardhu kifayah.
Kedua:
Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah SAW terbagi dalam dua bentuk :
Menyampaikan dalil dari Al-Qur’an atau sebahagiannya dan dari As-Sunnah, baik sunnah yang berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (amaliyah), maupun persetujuan (taqririyah), dan segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak mulia Nabi SAW.
Cara penyampaian seperti ini memerlukan hafalan yang bagus dan mantap. Juga cara dakwah seperti ini haruslah disampaikan dari orang yang jelas Islamnya, baligh (dewasa) dan memiliki sikap ‘adalah (soleh, tidak sering melakukan dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang mengurangi harga diri/ muru’ah, dsbg).
Menyampaikan secara makna dan pemahaman terhadap nas-nas yang ada. Orang yang menyampaikan ilmu seperti ini perlu capabilitas dan legalitas tersendiri yang diperoleh dari banyak menggali ilmu dan boleh pula dengan mendapatkan persaksian atau izin dari para ulama.
Hal ini dikeranakan memahami nas-nas memerlukan ilmu-ilmu lainnya, di antaranya bahasa, ilmu nahu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu usul, musthalah, dan memerlukan penelaahan terhadap perkataan-perkataan ahli ilmu, mengetahui ikhtilaf (perbezaan) mahupun kesepakatan yang terjadi di kalangan mereka, hingga ia mengetahui mana pendapat yang paling mendekati dalil dalam suatu masalah khilafiyah.
Dengan bekal-bekal ilmu tersebut akhirnya ia tidak terjerumus menganut pendapat yang ‘nyeleneh’ atau 'pelik'.
Ketiga:
Sebahagian orang yang mengaku sebagai da’i, pemberi nasihat, dan pengisi ta’lim, padahal nyatanya ia tidak memiliki pemahaman (ilmu mendalam) dalam agama, berdalil dengan hadits “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”.
Mereka beranggapan bahawasanya tidak diperlukan ilmu yang banyak untuk berdakwah (asalkan hafal ayat atau hadits, boleh menyampaikan semahunya). Bahkan mereka berkata bahwasanya barangsiapa yang memiliki satu ayat maka ia telah disebut sebagai pendakwah, dengan dalil hadits Nabi SAW tersebut.
Menurut mereka, tentu yang memiliki hafalan lebih banyak dari satu ayat atau satu hadits lebih layak jadi pendakwah.
Pernyataan di atas jelas keliru dan termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah.
Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang mereka maksudkan, melainkan di dalamnya justeru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu dengan pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja.
Apabila seorang pendakwah hanya memiliki hafalan ilmu yang mantap, maka ia hanya boleh menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun apabila ia termasuk ahlul hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus), ia dapat menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki.
Demikianlah sabda Nabi SAW, “Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih faham dari yang mendengar secara langsung. Dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang faqih (bagus dalam pemahaman)”.
Bagaimana seseorang boleh mengira bahawa Nabi SAW memerintahkan orang yang tidak paham agama untuk mengajarkan berdasarkan pemahaman yang ia buat asal-asalan (padahal ia hanya sekadar hafal dan tidak paham)?!
Semoga Allah melindungi kita dari kerosakan seperti ini. Aamin.
Wallahu 'lam.